Rabu, 15 April 2009

islam3.gif
Al Qur’an dapat berfungsi dengan baik jika dalam membaca dan menghafalkannya disertai dengan adab-adab batin dalam perenungan, khusyu, dan tadabur. Imam al Ghazaly menjelaskan, ada sepuluh amalan dalam tilawah Al Qur’an, yaitu :
1. memahami keagungan dan ketinggian firman, karunia Allah, dan kasih sayangNya kepada mahluk dalam menurunkan Al Qur’an dari ‘Arsy kemuliaanNya ke derajat pemahaman makhlukNya.
2. mengagungkan Mutakalim (Allah). Seseorang yang membaca dan menghafal Al Qur’an diharuskan menghadirkan keagungan Allah di dalam hatinya dan mengetahui dengan sebenar-benarnya bahwa apa yang dibacanya bukanlah pembicaraan manusia, dan bahwa membaca kalam Allah itu diperlukan kesucian hati agar bisa memperoleh makna-maknanya. Bila seseorang telah menghadirkan dalam pikirannya segala ciptaan jagad raya ini, dan mengetahui penciptanya adalah Allah yang satu dimana semua mahluk berada dalam genggaman kekuasaanNya, maka akan terhadirkan pengagungan Allah
3. kehadiran hati dan meninggalkan bisikan jiwa. Kehadiran hati ini lahir dari apa yang ada sebelumnya yaitu mengagungkan Allah. Dalam Q.S. Maryam : 12, Allah berfirman : “Wahai Yahya, ambillah kitab ini dengan kekuatan” maksudnya, adalah mengambil dengan serius dengan berkonsentrasi penuh dalam membacanya dan mengarahkan perhatian hanya kepadanya. Sebagian kaum salaf apabila membaca satu ayat tetapi hatinya tidak bersama dengannya, maka ia mengulanginya lagi.
4. Tadabbur. Dalam membaca Al Qur’an disunahkan dengan tartil, karena di dalam tartil, secara zhahir memungkinkan tadabbur dengan batin. Ali R.A. berkata: “tidak ada kebaikan dalam ibadah tanpa pemahaman di dalamnya, dan tidak ada kebaikan pada bacaan tanpa tadabbur di dalamnya. Mentadaburi itu adalah membacanya dengan berulang-ulang yaitu ayat: “Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hambaMu.” (Al Maidah : 118). Tadabbur bisa diartikan melakukan perenungan terhadap satu ayat secara mendalam, dan tidak beralih ke ayat berikutnya sebelum menemukan hakikat dari ayat tersebut.
5. Tafahum. Yaitu mencari kejelasan dari setiap ayat secara tepat karena Al Qur’an meliputi berbagai masalah tentang sifat-sifat Allah, perbuatan-perbuatanNya, ihwal para Nabi, ihwal para pendusta dan bagaimana mereka dihancurkan, perintah-perintahNya, larangan-laranganNya, surga dan juga Neraka. Metodologi tafahum (pemahaman mendalam) bertujuan utnuk menguak pintunya, bukan untuk mendapatkan semuanya. Barangsiapa tidak memiliki pemahaman tentang apa yang terkandung dalam Al Qur’an sekalupun dalam tingkatan yang paling rendah, maka ia masuk ke dalam kategori firman Allah dalam Q.S. Muhammad ayat 16.
6. Meninggalkan hal-hal yang dapat menghalangi manusia untuk dapat memahami makna-makna Al Qur’an, yaitu :
a) Perhatian yang hanya tertuju kepada penunaian bacaan huruf-hurufnya saja, sehingga perenungannya hanya pada makharijul huruf.
b) Taqlid pada salah satu mazhab yang didengarnya, terpaku padanya, dan fanatik, sehingga hanya mengikuti apa yang didengar tanpa berusaha memahami bashiroh dan musyahadah.
c) Berterus menerus dalam dosa atau sikap sombong terjangkit hawa nafsu dunia yang dapat merupakan sebab timbulnya kegelapan dan juga hasrat hati. Hati ibarat cermin, nafsu syahwat ibarat kotoran, sedangkan makna-makna Al Qur’an ibarat gambar yang terlihat di cermin.
d) Hanya meyakini makna-makna al Qur’an yang telah disebutkan dari orang-orang tertentu saja, seperti Ibnu Abbas dan juga hanya membaca yang zahir. Tidak menerima orang yang menafsirkan Al Quran dengan pendapatnya sendiri.
7. Takhshish. Yaitu menyadari bahwa diri kita merupakan sasaran yang dituju oleh setiap ayat (nash) yang ada di dalam Al Qur’an. jika mendengar suatu perintah atau laranga, maka ia memahami bahwa perintah atau larangan itu ditujukan kepada dirinya. Demikian pula jika mendengar janji atau ancaman. Tentang kisah-kisah, nabi & rasul, atau orang-orang terdahulu, ebagai pelajaran yang harus diambil. Al Qur’an tidak diturunkan untuk Rasulullah saja, tetapi menjadi penawar, petunjuk, rahmat, dan cahaya bagi seluruh alam semesta. Allah memerintahkan semua manusia untuk mensyukuri nikmat Al Qur’an dalam firmanNya : Q.S. 2 : 231, Q.S. Al Anbiya : 110, Q.S. 16 : 44, Q.S. 47 : 3, Q.S. 3 : 138, Q.S. 6 : 19. Muhammad bin Ka’ab Al Qurthubi berkata : “Orang yang telah sampai Al Qur’an kepadanya sama dengan orang yang diajak bicara oleh Allah”. Jika menyadari, maka dalam membaca Al Qur’an itu seperti seorang budak yang membaca surat dari tuanNya. Al Qur’an harus ditadaburi dalam sholat, direnungkan, dilaksanakan dalam amal ketaatan, dll
8. Ta’atstsur (mengimbas ke dalam hati). Yaitu hatinya terimbas dengan berbagai imbasan yang berbeda sesuai dengan beragam ayat yang dihayatinya. Imbasan yang dirasakan itu berupa rasa sedih, takut, harap, dsb. Jika ma’rifatnya baik, maka rasa takut akan mendominasi hati, karena pengetatan (tadhyiq) sangat mendominasi ayat-ayat Al Qur’an sehingga tidak ada penyebutan ampunan dan rahmat, kecuali beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu bagi orang yang bertaubat, beramal shaleh, beriman, dan istiqomah (tetap berada di jalan yang benar), seperti dalam Q.S. 20:82, Q.S. Al Ashr : 1-3, dan juga Q.S. 7 : 56. Al Hasan berkata : “Demi Allah, pada hari ini tidaklah seorang hamba membaca Al Qur’an dengan meyakininya kecuali pasti akan banyak bersedih, sedikit rasa gembiranya, banyak menangis, dan sedikit tertawa, banyak letih dan sibuk, dan sedikit istirahat atau menganggur. Membaca dan menghafal Al Qur’an dengan sebenar-benarnya itu adalah ikut sertanya lisan, akal, dan hati secara simultan. Tugas lisan adalah membetulkan huruf dengan bacaan tartil, tugas akal ialah menafsirkan maknanya, dan tugas hati ialah mengambil pelajaran dan menghayati segala larangan dan perintahnya. Jadi lisan membaca, akal menerjemahkan, dan hati menangkap pelajaran.
9. Taraqqi. Yaitu meningkatkan penghayatan sampai ke tingkat mendengarkan kalam dari Allah, bukan dari dirinya. Ada 3 derajat tingkatan orang membaca Al Qur’an:
1) derajat paling rendah; yaitu seorang hamba merasakan seolah-olah dia membacanya kepada Allah, berdiri di hadapanNya, sementara Allah menyaksikan dan mendengarkannya, sehingga dengan gambaran perasaan seperti ini ia dalam posisi selalu memohon, merayu, merendahkan diri, dan berdoa.
2) Menyaksikan dengan hatinya seolah-olah Allah melihatnya dan mengajaknya bicara dengan berbagai taufikNya, memanggil dengan berbagai ni’mat dan kebaikanNya, sehingga ia berada dalam posisi malu, mengagungkan, mendengarkan, dan memahami.
3) Melihat Allah dalam setiap ayat (kalam) yang dibacanya, melihat sifat-sifatNya, sehingga ia tidak lagi melihat dirinya dan bacaannya, juga tidak melihat keterkaitan pemberian nikmat kepada dirinya bahwa ia diberi nikmat. Tetapi perhatiannya terkonsentrasi kepada mutakallim (zat yang berbicara). Pikirannya tertambat kepadaNya, seolah-olah hanyut dalam menyaksikan mutakallim sehingga tidak melihat kepada selainNya. Ja’far bin Muhammad Ash Shadiq ra berkata; “Demi Allah, Allah telah menampakkan diri kepada makhlukNya di dalam kalamNya tetapi mereka tidak melihatNya. Ketika ditanya tentang keadaan yang pernah dialaminya dalam sholat jatuh pingsan, ia berkata ; “Aku terus mengulang-ulang satu ayat dalam hatiku hingga aku mendengarnya seolah-olah dari pembicaranya (Allah) langsung sehingga badanku tidak kuasa menyaksikan kekuasaanNya. Dalam derajat seperti ini, kelezatan munajat semakin meningkat.
10. Tabarriy, yakni melepaskan diri dari daya dan kekuatannya, dan memandang kepada dirinya dengan pandangan ridha dan tazkiyah.
contohnya : jika membaca ayat-ayat, janji-janji, dan sanjungan kepada orang-orang sholih, maka ia tidak menyaksikan dirinya pada hal tersebut, tetapi menyaksikan orang-orang yang yakin dan shidiqin berada di dalamnya, kemudian ia merindukan untuk disusulkan Allah kepada mereka. dan jika membaca ayat-ayat, kecaman, dan celaan kepada orang-orang yang bermaksud dan lalai, ia menyaksikan dirinyalah yang dimaksud, sehingga timbul takut dan cemas.
Jika memandang diri dengan gambaran yang sangat jauh dari sempurna dalam tilawah, maka pandangannya itu akan menjadi sebab kedekatannya (merasa jauh walaupun dekat) akan mudah merasa takut yang akan mengantarkannya ke derajat kedekatan yang lebih tinggi. Tapi jika menyaksikan dalam kejauhan (merasa dekat padahal jauh), maka ia akan tertipu oleh rasa aman yang akan mengantarkannya ke derajat kejauhan yang lebih rendah.
Jika dalam bacaannya sudah tidak memandang dirinya dan tidak menyaksikan kecuali Allah, maka akan dibukakan padanya berbagai kegaiban karen kalam Allah meliputi hal yang mudah, lembut, keras, harapan,d an ancaman sesuai dengan sidat-sifatnya yang diantaranya rahmat, lemah lembut, balasan, dan siksaan.
Jika 10 adab batin ini senantiasa diamalkan dalam membaca dan menghafal Al Qur’an, maka Insya Allah akan didapatkan keutamaan Al Qur’an dalam menjaga stabilitas ruhani.

1 komentar: